Selasa, 01 November 2011


Mencoba memejamkan mata agar bisa menghitung angka-angka meskipun tetap saja terasa  asing untuk tetap selalu mengunyah huruf-huruf dalam sebuah tulisan hidup. Selalu saja tertatih dan tak mampu membenahi huruf dan angka itu, yang jelas ia masih bisa membusungkan dan membanggakannya pada sebuah pilihan-pilihan yang cukup mudah. Besok masih tak yakin ia untuk memetakan hari-hari, mengatur masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang. Tak paham lagi ia dengan bahasanya sendiri karena tertutupi wajah kematian dan pengaruh dari pikiran bumi.

Waktu mulai tak bersahabat dengannya karena mulai menunjukkan semua peta-peta dunia yang telah tertanam sedikit demi sedikit. Mencoba ia beranikan diri untuk menuliskan langkah meskipun hanya dalam dongeng sendiri. Tak usah melukis semua wajah dihadapannya cukup memunculkannya saja, ia berpikir untuk memunculkannya dalam sebuah sketsa-sketsa kecil yang bisa mengartikan semua sisa dari metafora-metafora basi dan membangkitkannya kembali.

Bahasa kanak-kanaknya menunggu sang fana dari segala waktu meskipun gemetar selalu menemaninya melambai riang dengan nadi yang masih berada dalam angin. Menghentikan angin dan masih berharap untuk bisa membisikkan malam dalam rakaat-rakaat shalat dalam kodrat yang belum tertatih dan bisa menisbahkan semuanya. Iblispun tak tega untuk menyapanya meski lelah ia diatas sajadah, tak bisa juga malaikat memendesahkannya dengan nafas tasbih. Dia itu hanya menbutuhkan Kata-kata dari selembar cahaya  yang tak tampak… DIA HANYA BUTUH KATA “KUN FAYAKUN” .

Melanjutkan semuanya meski dari mata angin yang mulai retak dan mulai merasa asing meskipun itu dari detak jantung sendiri karena tak bisa memahami lagi dari warna-warna imajinasinya, Tak yakin lagi ia bila ujung matanya sanggup memecah buih di angin dan melabuhkannya dalam bukit-bukit. Tarikan nafasnya tak lagi menemaninya mengawang ke surga, jejaknya dalam pasir-pasir angkasa lamunan tak mampu menanggalkan bebannya malah kemudian menghempaskannya ke puncak. Dini hari dia masih meramu mimpinya dalam kutub bumi dan berusaha untuk kembali tersadar.

Masih setia dia mengawali langkah bersama waktu untuk sebuah kehidupan dalam kata-kata. Ah terlalu banyak dia berceloteh dalam hidup dengan bahasa-bahasa filsafat kuno. Dia masih mencari tumpukan kata-katanya yang hilang dalam musim yang berlanjut yang tak jelas kapan berakhirnya, hampir kering dia dalam mesin waktu karena tak mau untuk tunduk pada gelapnya terang dan tak pernah percaya lagi pada dahaganya yang kosong.

Berangkat dan memulainya kembali sebelum zamrudnya bisa dinyalakan oleh kerlingan matahari,  tidak terlalu berharap ada kabar gembira dengan tempat yang akan menjadi tujuannya, sekarang saatnya ia pulang sebelum zamrudnya dipadamkan kembali oleh malam… ITU RAHASIAKU UNTUKMU.